PETA SENGKETA AGRARIA
DI SULAWESI SELATAN
Sumber : Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi-Selatan (Walhi Sulsel)
Sumber : Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi-Selatan (Walhi Sulsel)
No
|
Klasifikasi Konflik
|
Lokasi Konflik
|
Luas Area Sengketa
|
Pelaku Konflik
|
Deskripsi Konflik
|
|
1
|
Perkebunan
|
Kabupaten Luwu Utara;
- Kecamatan Mappideceng
|
1.581,50 Ha
|
PTPN XIV
|
Kasus ini berawal dengan diadakannya
penataan ulang batas kawasan atau TGHK pada tahun 1980-an oleh Dinas
Kehutanan untuk rencana pembukaan lahan Perkebunan Kelapa Sawit PTPN XXVIII. Berdasarkan Surat Pimpinan PN. Perkebunan XXVIII Kelapa
Sawit tanggal 1 oktober 1982, No../X/120/1982 tentang Penyediaan lahan untuk
Areal Perkebunan inti dan Plasma Proyek Kelapa Sawit dalam Kabupaten Dati II
Luwu. Maka berdasarkan surat tersebut Pada Tanggal : 8 Oktober 1982 Bupati Kepala Daerah Tingkat II (Drs. Haji Abdullah Suara)
mengeluarkan surat keputusan dengan Nomor
: 129/II/KDL/1982 Tentang Penunjukan Areal Tanah/Lahan Perkebunan Inti
Dan Plasma Atau Perkebunan Inti Rakyat Untuk Kelapa Sawit PN. Perkebunan
XXVIII Dalam Wilayah Kabupaten Luwu dalam rangka usaha untuk membenahi labih
jauh pengadaan/penyediaan lahan yang dibutuhkan Proyek Kelapa Sawit PN.
Perkebunan XXVIII, yang perlu disukseskan, maka dianggap perlu menunjuk
Areal/Lahan untuk Kebun Inti seluas 11.150 HA dan untuk Plasma
seluas 21.000 HA yang meliputi :
Tertanggal 30 September 1982 Bupati Kepala Daerah Tingkat II
Luwu.mengeluarkan rekomendasi, No. 612/Pem/KDL/1982 yang isinya Bahwa
penetapan jumlah Areal lahan sesungguhnya perlu segera diwujudkan dengan
mengadakan inventarisasi.
Perintisan dan penetapan TGHK ini
secara sepihak ditetapkan oleh pemerintah dan tidak melibatkan masyarakat
setempat. Berdasarkan TGHK tersebut semua wilayah bekas perkampungan Tua yang
sekaligus merupakan ladang/kebun masyarakat diwilayah Kumila dan Buntu Le’pon
yang sebelumnya telah ada batas/patok Belanda Kurang lebih 200 Ha diluar dari
batas tersebut masuk dalam TGHK, Wilayah tersebut yakni ; Wilayah Kumila yang meliputi; Pa’tondokan, Pa’rambuan, To’
Baulu, Tanduk Salu, Nye’po, Kue, Tata Pollo, Pentolloan Manuk dan Benteng Toyolo serta Wilayah Buntu
Le’pon yang meliputi; Durian Pusuk, Garonga, Pomballik, Salu Awo, Bunuan
Bosso, Ponglabo, To’ Paken, Bulelle, Salu Punti dan Parakaju.
Awal
tahun 1979 mulai dilakukan Pendataan untuk Pembebasan dan Pembukaan lahan
Perkebunan Kelapa Sawit (PKS) Luwu I afdeling Inti Mappedeceng dengan luas
2.020 Ha. Tim Pembebasan Tanah bersama dengan Aparat Pemerintahan Desa yang
saat itu Kepala Desa masih dijabat oleh ” B. Firdaus ” sementara Kepala Dusun
Kampung Baru dijabat oleh ” Gero ”. Pendataan dilakukan dilokasi-lokasi
kebun/ladang masyarakat untuk data pembayaran Biaya ganti rugi tanaman khusus
untuk tanaman yang sudah produktif. Bagi masyarakat yang menolak diancam akan
diambil secara paksa dengan menggunakan aparat keamanan. Pendataan ini
dilakukan sebanyak 2 (dua) kali, wilayah pendataan I (pertama) ini meliputi Balobo
dan Boke yang merupakan wilayah pemukiman masyarakat Kampung Baru. Sementara
untuk pendataan II (kedua) tetap diwilayah Balobo dan Boke yang masuk dalam
Kawasan.
Tahun 1983 – 1984 PTPN XXVIII yang didirikan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1985, Peraturan Pemerintah
Nomor 5 Tahun 1991, dan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1972 dalam satu
Perusahaan Perseroan (PERSERO);. mulai melakukan
penanaman sawit untuk Perkebunan Plasma diwilayah Mappedeceng, sementara
untuk wilayah Cakkaruddu dilakukan penanaman pada tahun 1986 – 1987. Padahal
izin HGU PTPN XXVIII baru diajukan pada tahun 1987 dan dikeluarkan pada tahun
1995 Berdasarkan ” Sertifikat Hak ” yang dimiliki/digunakan oleh PTPN XXVIII
yang berkedudukan di Ujung Pandang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara
Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional
Tanggal 01 Nopember 1995 Nomor 67 /
HGU / BPN / 95 dengan masa berlaku/hak selama 35 tahun atau masa akhir Hak
tanggal 24 September 2030. Surat ukur / gambar situasi khusus: Jakarta Tanggal
01 Desember 1987 No. 33/1987, dengan luas 2.020 Ha oleh Sub Dit Pengukuran dan Pemetaan
Terrestris Ir. Seto Pandojo.
Sertifikat Hak ini kemudian dibukukan dan diterbitkan di Palopo
Tanggal 20 September 1996 oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Luwu
Darmawidjaya, SH dengan penunjuk “ Tanah Negara “. Sementara itu untuk lokasi Perkebunan kelapa Sawit (PKS) Luwu I afdeling
Inti Mappedeceng dengan luas 2.020 Ha.
Pihak PT. Perkebunan XXVIII yang saat itu menggunakan
atau sumber pendanaannya merupakan konversi pinjaman Negara Republik
Indonesia dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD)
untuk dana Proyek NES VII di Luwu dianggap tdk berjalan secera efisiean dan
efektif, sehingga manajemennya diambil alih oleh PT. Perkebunan
Nusantara XIV pada tahun 1996 berdasarkan peraturan pemerintah republik
indonesia Nomor 19 Tahun 1996 tentang Peleburan perusahaan Perseroan
(persero) PT. Perkebunan XXVIII, Perseroan (persero) PT Perkebunan
XXXII dan Perusahaan Perseroan (persero) Bina Mulya Ternak
menjadi perusahaan perseroan (persero) PT. Perkebunan Nusantara XIV pada tanggal
14 Pebruari 1996 yang ditandatangani oleh “Presiden Soeharto”, dalam rangka lebih meningkatkan efisiensi
dan efektivitas Badan-badan Usaha Milik Negara.
|
|
2
|
Perkebunan
|
Kabupaten Wajo;
-
Kecamatan Keera
-
Kecamatan Gilireng
|
+ 8.000 Ha
|
PTPN XIV
|
Pada tahun 1972 PT. Bina Mulia Ternak (PT. BMT) masuk di wilayah
Kec. Pitumpanua yang sekarang Kec. Keera, PT. BMT menguasai lahan
masyarakat dengan memberikan ganti rugi. Pembayaran ganti rugi dilakukan
bervariasi. Untuk persawahan dan kebun di Bekkae dan Benceng-bencenge
diberikan ganti rugi sebanyak Rp. 25 juta, lahan di desa Keera sebanyak Rp.
12,5 juta sedangkan lahan di desa awota sebanyak Rp. 12 juta. Dari sekian
banyak ganti rugi tersebut diatas tidak ada satu orang masyarakat pun yang
menerima ganti rugi. Kemudian pada tahun 1973 PT. BMT memperluas wilayah
konsesinya dengan menguasai wilayah
Kec. Maniangpajo yang sekarang masuk dalam Kec. Gilireng namun tidak
memberikan ganti rugi dengan masa kontrak selama 25 tahun.
lahan yang dikontrak oleh PT. BMT merupakan lahan warisan dari nenek
moyang mereka. Ini ditandai dengan masih adanya tanda-tanda berupa kampung
tua, kuburan tua dan tanaman jangka panjang yang masih ada sampai sekarang.
Awalnya masyarakat tidak mau menyerahkan lahannya namun karena adanya
intimidasi maka dengan terpaksa masyarakat menyerahkan lahannya. Kemudian
lahan masyarakat di ambil alih oleh PTPN XIV namun proses pengalihan dari PT.
BMT ke PTPN XIV tidak diketahui oleh masyarakat. Luas lahan masyarakat yang
dikuasai oleh PTPN XIV sekitar 8.000 ha dan tersebar di beberapa desa yaitu
Desa Paselloreng, Awo, Inrello, Keera dan Laliseng.
Dari sekian tahun dikuasai oleh PTPN XIV hanya sebagian lahan yang
sudah ditanami sementara yang lainnya masih alang-alang sementara masyarakat
juga tidak dibiarkan masuk untuk mengelola. Sesuai dengan kesepakatan awal
dengan PT. BMT maka masa kontrak sudah berakhir sejak tahun 1998, maka
masyarakat sebagai pemilik lahan sudah berhak untuk mengelola kembali lahan
tersebut. Anehnya kemudian adalah
karena sampai hari ini PTPN XIV Kab. Wajo masih tetap beroperasi , tanpa ada
pemberitahuan apapun apalagi persetujuan dari masyarakat selaku pemilik
tanah.
|
|
3
|
Perkebunan
|
Kabupaten Sidrap;
-
Kecamatan Pitu Riase
|
PT. BULI/PTPN XIV
|
Konflik ini dipicu oleh adanya penetapan wilayah kelola rakyat menjadi
wilayah HGU PT. BULI yang terletak di
Desa Bila Riase, Kecamatan Pitu Riase. Warga mengklaim tanah tersebut masih
milik mereka. Sementara PT. Buli sendiri mengklaim bahwa mereka menguasai
tanah seluas 11.900 Ha berdasar Hak Guna Usaha (HGU) sejak 1973 dan telah
diperpanjang tahun 2009, dimana Lahan
tersebut dijadikan tempat pembibitan dan penggemukan ternak sapi impor.
|
||
4
|
Perkebunan
|
Kabupaten Sidrap
|
20.165
Ha
|
PT. Semesta Margareksa
|
Konflik dipicu karena adanya Keputusan Bupati Sidrap
tentang Pemberian Izin Lokasi No. 341/2006 tanggal 24 Agustus 2006 kepada PT.
Semesta Margareksa untuk Pembangunan Areal Lokasi Penanaman tebu seluas
20.165 Ha dimana hal ini akan menimbulkan dampak social atas hilangnya akses
penghidupan masyarakat dan menjadikan masyarakat semakin terpinggirkan yang
berakibat pada konflik horizontal ditengah masyarakat, seperti halnya yang
terjadi pada PT. Buli Kecamatan Pitu Riase dan Ex HGU PT. Sapco dan Ex PT.
Sanusi di Kecamatan Pitu Riawa dan Watang Sidenreng. Disamping itu, proses
pengukuran yang dilakukan secara sepihak oleh PT. Semesta Margareksa bekerja sama dengan
Pemda Sidrap.
|
|
5
|
Kehutanan
|
Kabupaten Sinjai;
-
Kecamatan Sinjai Borong
|
Dinas Kehutanan
|
Masyarakat desa Bontokatute mengelola wilayahnya dengan konsep
keseimbangan antara pengelolaan dengan
kelestarian. Wilayah mereka di bagi dua bagian yaitu wilayah kelola dengan
wilayah larangan untuk dikelola “hutan adat”. Masyarakat desa Bontokatute
menjadikan hutan larangan sebagai hutan adat “Barannai dan Lembangia”.
Wilayah larangan ini yang diperbolehkan hanya untuk mengambil tali pengikat
atau rotan. Sekitar tahun 50an wilayah larangan diperjelas dengan adanya
perjanjian antara pihak masyarakat yang diwakili oleh kepala sikki,
Pahamalang dan Jappa sedangkan dari pihak kehutanan diwakili oleh karaeng
Daming. Mereka sepakat untuk membagi dua wilayah dengan menanam bambu petung
sebagai batas, kesepakatan ini sampai sekarang masih dijaga dan dihargai oleh
masyarakat setempat. Tanda-tanda kepemilikan lahan masyarakat Barambang
katute yaitu adanya kuburan Barambang pertama, rumah adat “Balla Lompoa ri
Katute” dan kampung tua di Bontolasuna. Dengan adanya bukti-bukti ini
menandakan masyarakat adat Barambang Katute sudah menempati wilayah ini sejak
ratusan tahun lalu.
Wilayah Bontokatute ditetapkan sebagai hutan lindung pada tahun
1994-1995, namun proses penetapan hutan lindung tidak diketahui oleh
masyarakat. Setelah ada pengumuman baru masyarakat mengetahui dan sempat
diprotes oleh warga namun tidak ada tanggapan dari pihak pemerintah kabupaten
Sinjai, malah salah seorang warga bernama Muh. Rustam Hamka sempat dipenjara
selama 2 bulan karena dituduh memfitnah pemerintah dengan memprotes penetapan
tersebut. Pada tahun 2005 muncul program GN-RHL dari Dinas Kehutanan Kab.
Sinjai dengan jumlah dana 167 juta dari anggaran APBN 2005. Jenis tanaman
yang ditanam adalah pohon pinus, mahoni, gamelina, kayu manis dengan target
menanami lahan sekitar 84 ha. Penanaman pohon pinus ditentang oleh masyarakat
dan melarang menanam dilahan mereka,
pelaksanaan penanaman dilakukan oleh orang dari luar Bolalangiri. Adapun
orang bolalangiri yang terlibat dalam penanaman dan melakukan jempol sebanyak
20 orang hanya karena mengejar gaji juga menanam bukan pada lahan mereka
tetapi lahan orang lain. Pada tahun 2009 sebanyak 11 orang ditetapkan sebagai
tersangka dengan tuduhan merambah hutan lindung mencabut pohon pinus sebanyak
44 ribu pohon di lahan dengan luas 40 ha.
Awal Mula Konflik Kawasan
1.
Sebelum adanya proyek GN-RHL, pada tahun 1994
masyarakat telah mengajukan surat keberatan kepada Bupati Tk. II Sinjai
perihal Keberatan Masyarakat terhadap Tim Tata Batas Hutan dari Sub Balai
Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Prov. Sulawesi Selatan.
2.
Pada tahun 2005
Dinas Kehutanan kab. Sinjai mencanangkan Desa Bonto Katute sebagai tempat
Program GN-HRL. Program inilah yang merupakan pemicu awal konflik masyarakat
dengan pemerintah daerah kab. Sinjai C.q Dinas Kehutanan Kab.
Sinjai.
|
||
6
|
Kehutanan
|
Kabupaten Sidrap;
- Kecamatan Pitu Riase
|
10.555 Ha
|
Dinas kehutanan
|
Konflik
tenurial antara komunitas masyarakat adat Sando Batu dengan pihak Departemen
Kehutanan (Dephut) dalam hal ini Dinas Kehutanan Kabupaten Sidenreng Rappang mengklaim wilayah
tersebut sebagai kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Lindung (HL). Masyarakat setempat
merasa berhak terhadap wilayah tersebut berdasar pada sejarah dan pola penguasaan-pengelolaan
sumber daya alam berbasis adat. Di pihak Dephut juga mengklaim wilayah yang
sama berdasarkan hukum positif yang diberlakukan pemerintah, terutama yang berkaitan dengan kawasan hutan di Desa
Leppangeng Kecamatan Pitu Riase kabupaten Sidenreng Rappang.
Wilayah
masyarakat adat Sando Batu sebelum Negara Indonesia di proklamisikan tahun
1945 atau di tata batas oleh pihak DEPHUT merupakan wilayah yang berada di
dalam batas TON TOGA yang merupakan sebutan
bagi wilayah kelola masyarakat adat Sando (dibaca:Sanro) Batu yang
kini masuk dalam Desa Leppangeng
Kecamatan Pitu Riase Kabupaten Sidenreng Rappang.
Lahirnya
wilayah kelola ini berdasarkan kesepakatan
yang dilakukan antara masyarakat Sando Batu dengan Pemerintah Kolonial
Belanda sekitar tahun 1930-an.
Kesepakatan tersebut difasilitasi oleh mantri kehutanan. Waktu itu
dijabat oleh Nukman. Nukman adalah bapak dari Arifin Nukman – Bupati Sidrap
yang kedua, atau kakek Agus Arifin Nukman yang sekarang wakil gubernur provinsi Sulsel.
Jumlah
Penduduk yg menerima dampak dari konflik tersebut adalah :
1.
Dusun Bolapatti 53 KK (laki-laki = 110, perempuan 114
= 224 orang)
2.
Dusun Leppangeng = 37 KK (laki-laki 81, perempuan 83
= 164 orang)
3.
Dusun Wala-wala = 45 KK (laki- laki 141, perempuan
113 = 254 orang
4.
Dusun Galung = 58 KK (laki- 4. laki 139, perempuan
124 = 263 orang
5.
Dusun Lengke = 91 KK (laki-laki 251, perempuan 216 =
462 orang)
|
|
7
|
Kehutanan
|
Kabupaten Gowa;
-
Kecamatan Tombolo Pao
|
Dinas Kehutanan
|
Konflik
tenurial ini berawal dari proyek
pembibitan pinus di Dusun Matteko tahun 1977. Setahun kemudian (1978)
dilakukan penanaman di dusun yang sama. Setahun setelah penanaman (1979)
Dishut Kabupaten Gowa lantas menetapkan dusun Matteko sebagai kawasan hutan
lindung.
Akibat dari
penetapan wilayah kelola masyarakat di dusun Matteko menjadi kawasan Hutan
Negara menyebabkan kemiskinan.
Beberapa warga dusun Matteko ditetapkan menjadi tersangka dengan tuduhan
melakukan penyerobotan kawasan Hutan Lindung
Jumlah
masyarakat korban dari konflik ini sebanyak
80 KK
|
||
8
|
Kehutanan
|
Kabupaten Enrekang;
-
Kecamatan Maiwa
|
Dinas Kehutanan
|
Permasalahan/konflik yang
terjadi disebabkan wilayah Kelola Masyarakat Adat Baringin ditetapkan sebagai
Kawasan Hutan Negara.
Secara administrative wilayah Masyarakat Adat Baringin yang saat ini
telah ditetapkan sebagai desa defenitif seluas 30,20 Km2, yang terbagi dalam
4 Dusun (Dusun Baringin, Dusun Lasaba’, Dusun Botto Cendana, Dusun Galiso’) ,
3 RW/RK dan 6 RT. Dengan jumlah anggota Masyarakat Adat sebanyak 1.093 jiwa
yang terdiri dari laki-laki sebanyak 547 jiwa, dan perempuan 546 jiwa. Yang
mana sebagian besar merupakan wilayah kawasan Hutan Negara.
|
||
9
|
Tambang
|
Kabupaten Luwu Timur;
-
Kecamatan Nuha
|
PT. Inco,tbk
|
|||
10
|
Tambang
|
Kabupaten Sinjai;
-
Kecamatan Sinjai Borong
|
PT. Galena Sumber Energi
|
Awal mula
konflik terjadi akibat adanya Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi tambang emas di wilayah adat
Barambang Katute oleh PT. hal inilah kemudian yang mendapat reaksi penolakan
Masyarakat Adat Barambang Katute Desa Bonto Katute yang tidak menginginkan
wilayah adat mereka di jadikan areal pertambangan.
Jumlah penduduk Desa Bontokatute sebanyak 2.678 jiwa
(1.492 laki-laki, 1.189 perempuan) dengan 608 KK dan luas desa 15,63 km²
|
||
11
|
Perkebunan
|
Kabupaten Bulukumba;
|
PT. London Sumatera
|
|||
12
|
Perkebunan
|
Kabupaten Takalar;
-
Kecamatan Polong bangkeng selatan
-
Kecamatan Polongbangkeng utara
|
PTPN XIV
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar