Rabu, 30 Januari 2013

PETA SENGKETA AGRARIA DI SULAWESI SELATAN



PETA SENGKETA AGRARIA DI SULAWESI SELATAN
Sumber : Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi-Selatan (Walhi Sulsel)
No
Klasifikasi Konflik
Lokasi Konflik
Luas Area Sengketa
Pelaku Konflik
Deskripsi Konflik
1
Perkebunan
Kabupaten Luwu Utara;
- Kecamatan   Mappideceng
1.581,50 Ha
PTPN XIV
Kasus ini berawal dengan diadakannya penataan ulang batas kawasan atau TGHK pada tahun 1980-an oleh Dinas Kehutanan untuk rencana pembukaan lahan Perkebunan Kelapa Sawit PTPN XXVIII. Berdasarkan Surat Pimpinan PN. Perkebunan XXVIII Kelapa Sawit tanggal 1 oktober 1982, No../X/120/1982 tentang Penyediaan lahan untuk Areal Perkebunan inti dan Plasma Proyek Kelapa Sawit dalam Kabupaten Dati II Luwu. Maka berdasarkan surat tersebut Pada Tanggal  : 8 Oktober 1982 Bupati  Kepala Daerah Tingkat II (Drs. Haji Abdullah Suara) mengeluarkan surat keputusan dengan Nomor  : 129/II/KDL/1982 Tentang Penunjukan Areal Tanah/Lahan Perkebunan Inti Dan Plasma Atau Perkebunan Inti Rakyat Untuk Kelapa Sawit PN. Perkebunan XXVIII Dalam Wilayah Kabupaten Luwu dalam rangka usaha untuk membenahi labih jauh pengadaan/penyediaan lahan yang dibutuhkan Proyek Kelapa Sawit PN. Perkebunan XXVIII, yang perlu disukseskan, maka dianggap perlu menunjuk Areal/Lahan untuk Kebun Inti seluas 11.150 HA dan untuk Plasma seluas 21.000 HA yang meliputi :
  1. Kecamatan Masamba masing-masing Desa Mappadeceng, Desa Baliase, Desa Bone, Desa Kapuna dan Desa Balebo.
  2. Kecamatan Wotu masing-masing Desa Burau, Desa Jalajja, Desa Lewonu dan Desa Tarangge.
  3. Kecamatan Mangkutana masing-masing Desa Bayondo, Desa Tomoni, Desa Maleku dan Desa Margolimbo.
  4. Kecamatan Bone-Bone masing-masing Desa Lampuawa dan Desa Kaluku
  5. Kecamatan Sabbang di Desa Baebunta dan Desa Rajja.
Tertanggal 30 September 1982 Bupati Kepala Daerah Tingkat II Luwu.mengeluarkan rekomendasi, No. 612/Pem/KDL/1982 yang isinya Bahwa penetapan jumlah Areal lahan sesungguhnya perlu segera diwujudkan dengan mengadakan inventarisasi.

Perintisan dan penetapan TGHK ini secara sepihak ditetapkan oleh pemerintah dan tidak melibatkan masyarakat setempat. Berdasarkan TGHK tersebut semua wilayah bekas perkampungan Tua yang sekaligus merupakan ladang/kebun masyarakat diwilayah Kumila dan Buntu Le’pon yang sebelumnya telah ada batas/patok Belanda Kurang lebih 200 Ha diluar dari batas tersebut masuk dalam TGHK, Wilayah tersebut yakni ; Wilayah Kumila  yang meliputi; Pa’tondokan, Pa’rambuan, To’ Baulu, Tanduk Salu, Nye’po, Kue, Tata Pollo, Pentolloan Manuk  dan Benteng Toyolo serta Wilayah Buntu Le’pon yang meliputi; Durian Pusuk, Garonga,            Pomballik, Salu Awo, Bunuan Bosso, Ponglabo, To’ Paken, Bulelle, Salu Punti dan Parakaju.
Awal tahun 1979 mulai dilakukan Pendataan untuk Pembebasan dan Pembukaan lahan Perkebunan Kelapa Sawit (PKS) Luwu I afdeling Inti Mappedeceng dengan luas 2.020 Ha. Tim Pembebasan Tanah bersama dengan Aparat Pemerintahan Desa yang saat itu Kepala Desa masih dijabat oleh ” B. Firdaus ” sementara Kepala Dusun Kampung Baru dijabat oleh ” Gero ”. Pendataan dilakukan dilokasi-lokasi kebun/ladang masyarakat untuk data pembayaran Biaya ganti rugi tanaman khusus untuk tanaman yang sudah produktif. Bagi masyarakat yang menolak diancam akan diambil secara paksa dengan menggunakan aparat keamanan. Pendataan ini dilakukan sebanyak 2 (dua) kali, wilayah pendataan I (pertama) ini meliputi Balobo dan Boke yang merupakan wilayah pemukiman masyarakat Kampung Baru. Sementara untuk pendataan II (kedua) tetap diwilayah Balobo dan Boke yang masuk dalam Kawasan.
Tahun 1983 – 1984 PTPN XXVIII yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1985, Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1991, dan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1972 dalam satu Perusahaan Perseroan (PERSERO);. mulai melakukan penanaman sawit untuk Perkebunan Plasma diwilayah Mappedeceng, sementara untuk wilayah Cakkaruddu dilakukan penanaman pada tahun 1986 – 1987. Padahal izin HGU PTPN XXVIII baru diajukan pada tahun 1987 dan dikeluarkan pada tahun 1995 Berdasarkan ” Sertifikat Hak ” yang dimiliki/digunakan oleh PTPN XXVIII yang berkedudukan di Ujung Pandang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara
 Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Tanggal   01 Nopember 1995 Nomor 67 / HGU / BPN / 95 dengan masa berlaku/hak selama 35 tahun atau masa akhir Hak tanggal 24 September 2030. Surat ukur / gambar situasi khusus: Jakarta Tanggal 01 Desember 1987 No. 33/1987, dengan luas 2.020 Ha  oleh Sub Dit Pengukuran dan Pemetaan Terrestris Ir. Seto Pandojo.  Sertifikat Hak ini kemudian dibukukan dan diterbitkan di Palopo Tanggal 20 September 1996 oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Luwu Darmawidjaya, SH dengan penunjuk “ Tanah Negara “. Sementara itu untuk lokasi Perkebunan kelapa Sawit (PKS) Luwu I afdeling Inti Mappedeceng dengan luas 2.020 Ha.
Pihak PT. Perkebunan XXVIII yang saat itu menggunakan atau sumber pendanaannya merupakan konversi pinjaman Negara Republik Indonesia dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) untuk dana Proyek NES VII di Luwu dianggap tdk berjalan secera efisiean dan efektif, sehingga manajemennya diambil alih oleh PT. Perkebunan Nusantara XIV pada tahun 1996 berdasarkan peraturan pemerintah republik indonesia Nomor 19 Tahun 1996 tentang Peleburan perusahaan Perseroan (persero) PT. Perkebunan XXVIII, Perseroan (persero) PT Perkebunan XXXII dan Perusahaan Perseroan (persero) Bina Mulya Ternak menjadi perusahaan perseroan (persero) PT. Perkebunan Nusantara XIV pada tanggal 14 Pebruari 1996 yang ditandatangani oleh “Presiden Soeharto”, dalam rangka lebih meningkatkan efisiensi dan efektivitas Badan-badan Usaha Milik Negara.
Namun pada kenyataannya Persero PTPN XIV juga tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien dalam aktivitasnya bahkan menerlantarkan lahan serta melakukan penanaman tidak sesuai dengan ijinnya dimana sebahagian lahan ditanami dengan tanaman Coklat dan sebahagian besar sisanya belum dikelola sama sekali. Sehingga oleh pemerintah (DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono) pada tanggal 10 Desember 2007 berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2007 Tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) Pt Perkebunan Nusantara XIV mendapatkan Penambahan penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2007 dengan Nilai penambahan penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Jumlah penduduk sebanyak 416 KK dengan jumlah jiwa 1.502 Jiwa yang terdiri dari 4 dusun yakni :
-       Dusun Uraso dgn jumlah sebanyak 169 KK yg terdiri dari 667 jiwa
-       Dusun Kumila dgn jumlah sebanyak 109 KK yg terdiri dari 331 jiwa
-       Dusun Kampung Baru sebanyak 106 KK yg terdiri dari 397 jiwa
-       Dusun Uja dgn jumlah sebanyak 26 KK yg terdiri dari 107 jiwa
2
Perkebunan
Kabupaten Wajo;
-    Kecamatan Keera
-    Kecamatan Gilireng
+ 8.000 Ha
PTPN XIV
Pada tahun 1972 PT. Bina Mulia Ternak (PT. BMT) masuk di wilayah Kec. Pitumpanua  yang sekarang  Kec. Keera, PT. BMT menguasai lahan masyarakat dengan memberikan ganti rugi. Pembayaran ganti rugi dilakukan bervariasi. Untuk persawahan dan kebun di Bekkae dan Benceng-bencenge diberikan ganti rugi sebanyak Rp. 25 juta, lahan di desa Keera sebanyak Rp. 12,5 juta sedangkan lahan di desa awota sebanyak Rp. 12 juta. Dari sekian banyak ganti rugi tersebut diatas tidak ada satu orang masyarakat pun yang menerima ganti rugi. Kemudian pada tahun 1973 PT. BMT memperluas wilayah konsesinya dengan menguasai  wilayah Kec. Maniangpajo yang sekarang masuk dalam Kec. Gilireng namun tidak memberikan ganti rugi dengan masa kontrak selama 25 tahun.
lahan yang dikontrak oleh PT. BMT merupakan lahan warisan dari nenek moyang mereka. Ini ditandai dengan masih adanya tanda-tanda berupa kampung tua, kuburan tua dan tanaman jangka panjang yang masih ada sampai sekarang. Awalnya masyarakat tidak mau menyerahkan lahannya namun karena adanya intimidasi maka dengan terpaksa masyarakat menyerahkan lahannya. Kemudian lahan masyarakat di ambil alih oleh PTPN XIV namun proses pengalihan dari PT. BMT ke PTPN XIV tidak diketahui oleh masyarakat. Luas lahan masyarakat yang dikuasai oleh PTPN XIV sekitar 8.000 ha dan tersebar di beberapa desa yaitu Desa Paselloreng, Awo, Inrello, Keera dan Laliseng.
Dari sekian tahun dikuasai oleh PTPN XIV hanya sebagian lahan yang sudah ditanami sementara yang lainnya masih alang-alang sementara masyarakat juga tidak dibiarkan masuk untuk mengelola. Sesuai dengan kesepakatan awal dengan PT. BMT maka masa kontrak sudah berakhir sejak tahun 1998, maka masyarakat sebagai pemilik lahan sudah berhak untuk mengelola kembali lahan tersebut.  Anehnya kemudian adalah karena sampai hari ini PTPN XIV Kab. Wajo masih tetap beroperasi , tanpa ada pemberitahuan apapun apalagi persetujuan dari masyarakat selaku pemilik tanah.

3
Perkebunan
Kabupaten Sidrap;
-     Kecamatan Pitu Riase

PT. BULI/PTPN XIV
Konflik ini dipicu oleh adanya penetapan wilayah kelola rakyat menjadi wilayah  HGU PT. BULI yang terletak di Desa Bila Riase, Kecamatan Pitu Riase. Warga mengklaim tanah tersebut masih milik mereka. Sementara PT. Buli sendiri mengklaim bahwa mereka menguasai tanah seluas 11.900 Ha berdasar Hak Guna Usaha (HGU) sejak 1973 dan telah diperpanjang tahun  2009, dimana Lahan tersebut dijadikan tempat pembibitan dan penggemukan ternak sapi impor.

4
Perkebunan
Kabupaten Sidrap
20.165 Ha
PT. Semesta Margareksa
Konflik dipicu karena adanya Keputusan Bupati Sidrap tentang Pemberian Izin Lokasi No. 341/2006 tanggal 24 Agustus 2006 kepada PT. Semesta Margareksa untuk Pembangunan Areal Lokasi Penanaman tebu seluas 20.165 Ha dimana hal ini akan menimbulkan dampak social atas hilangnya akses penghidupan masyarakat dan menjadikan masyarakat semakin terpinggirkan yang berakibat pada konflik horizontal ditengah masyarakat, seperti halnya yang terjadi pada PT. Buli Kecamatan Pitu Riase dan Ex HGU PT. Sapco dan Ex PT. Sanusi di Kecamatan Pitu Riawa dan Watang Sidenreng. Disamping itu,  proses  pengukuran yang dilakukan secara sepihak oleh  PT. Semesta Margareksa bekerja sama dengan Pemda Sidrap.

5
Kehutanan
Kabupaten Sinjai;
-    Kecamatan Sinjai Borong

Dinas Kehutanan
Masyarakat desa Bontokatute mengelola wilayahnya dengan konsep keseimbangan antara pengelolaan dengan kelestarian. Wilayah mereka di bagi dua bagian yaitu wilayah kelola dengan wilayah larangan untuk dikelola “hutan adat”. Masyarakat desa Bontokatute menjadikan hutan larangan sebagai hutan adat “Barannai dan Lembangia”. Wilayah larangan ini yang diperbolehkan hanya untuk mengambil tali pengikat atau rotan. Sekitar tahun 50an wilayah larangan diperjelas dengan adanya perjanjian antara pihak masyarakat yang diwakili oleh kepala sikki, Pahamalang dan Jappa sedangkan dari pihak kehutanan diwakili oleh karaeng Daming. Mereka sepakat untuk membagi dua wilayah dengan menanam bambu petung sebagai batas, kesepakatan ini sampai sekarang masih dijaga dan dihargai oleh masyarakat setempat. Tanda-tanda kepemilikan lahan masyarakat Barambang katute yaitu adanya kuburan Barambang pertama, rumah adat “Balla Lompoa ri Katute” dan kampung tua di Bontolasuna. Dengan adanya bukti-bukti ini menandakan masyarakat adat Barambang Katute sudah menempati wilayah ini sejak ratusan tahun lalu. 
Wilayah Bontokatute ditetapkan sebagai hutan lindung pada tahun 1994-1995, namun proses penetapan hutan lindung tidak diketahui oleh masyarakat. Setelah ada pengumuman baru masyarakat mengetahui dan sempat diprotes oleh warga namun tidak ada tanggapan dari pihak pemerintah kabupaten Sinjai, malah salah seorang warga bernama Muh. Rustam Hamka sempat dipenjara selama 2 bulan karena dituduh memfitnah pemerintah dengan memprotes penetapan tersebut. Pada tahun 2005 muncul program GN-RHL dari Dinas Kehutanan Kab. Sinjai dengan jumlah dana 167 juta dari anggaran APBN 2005. Jenis tanaman yang ditanam adalah pohon pinus, mahoni, gamelina, kayu manis dengan target menanami lahan sekitar 84 ha. Penanaman pohon pinus ditentang oleh masyarakat dan melarang  menanam dilahan mereka, pelaksanaan penanaman dilakukan oleh orang dari luar Bolalangiri. Adapun orang bolalangiri yang terlibat dalam penanaman dan melakukan jempol sebanyak 20 orang hanya karena mengejar gaji juga menanam bukan pada lahan mereka tetapi lahan orang lain. Pada tahun 2009 sebanyak 11 orang ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan merambah hutan lindung mencabut pohon pinus sebanyak 44 ribu pohon di lahan dengan luas 40 ha.
Awal Mula Konflik Kawasan
1.       Sebelum adanya proyek GN-RHL, pada tahun 1994 masyarakat telah mengajukan surat keberatan kepada Bupati Tk. II Sinjai perihal Keberatan Masyarakat terhadap Tim Tata Batas Hutan dari Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Prov. Sulawesi Selatan.
2.       Pada tahun 2005 Dinas Kehutanan kab. Sinjai mencanangkan Desa Bonto Katute sebagai tempat Program GN-HRL. Program inilah yang merupakan pemicu awal konflik masyarakat dengan pemerintah daerah kab. Sinjai C.q Dinas Kehutanan Kab. Sinjai.

6
Kehutanan
Kabupaten Sidrap;
- Kecamatan   Pitu Riase
10.555 Ha
Dinas kehutanan
Konflik tenurial antara komunitas masyarakat adat Sando Batu dengan pihak Departemen Kehutanan (Dephut) dalam hal ini Dinas Kehutanan Kabupaten  Sidenreng Rappang mengklaim wilayah tersebut sebagai kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan  Hutan Lindung (HL). Masyarakat setempat merasa berhak terhadap wilayah tersebut berdasar pada  sejarah dan pola penguasaan-pengelolaan sumber daya alam berbasis adat. Di pihak Dephut juga mengklaim wilayah yang sama berdasarkan hukum positif yang diberlakukan pemerintah, terutama  yang berkaitan dengan kawasan hutan di Desa Leppangeng Kecamatan Pitu Riase kabupaten Sidenreng  Rappang.

Wilayah masyarakat adat Sando Batu sebelum Negara Indonesia di proklamisikan tahun 1945 atau di tata batas oleh pihak DEPHUT merupakan wilayah yang berada di dalam batas TON TOGA yang merupakan sebutan  bagi wilayah kelola masyarakat adat Sando (dibaca:Sanro) Batu yang kini masuk dalam Desa Leppangeng  Kecamatan Pitu Riase Kabupaten Sidenreng Rappang.
Lahirnya wilayah kelola ini berdasarkan kesepakatan  yang dilakukan antara masyarakat Sando Batu dengan Pemerintah Kolonial Belanda sekitar tahun 1930-an.  Kesepakatan tersebut difasilitasi oleh mantri kehutanan. Waktu itu dijabat oleh Nukman. Nukman adalah bapak dari Arifin Nukman – Bupati Sidrap yang kedua, atau kakek Agus Arifin Nukman yang sekarang wakil gubernur  provinsi Sulsel.

Jumlah Penduduk yg menerima dampak dari konflik tersebut adalah :
1. Dusun Bolapatti 53 KK (laki-laki = 110,     perempuan 114 =  224 orang)    
2. Dusun Leppangeng = 37 KK (laki-laki 81,     perempuan 83 = 164 orang)
3. Dusun Wala-wala = 45 KK (laki- laki 141,     perempuan 113 = 254 orang
4. Dusun Galung = 58 KK (laki- 4. laki 139,     perempuan 124 = 263 orang
5. Dusun Lengke = 91 KK (laki-laki 251,     perempuan 216 = 462 orang)
                                                                                                                                      

7
Kehutanan
Kabupaten Gowa;
-    Kecamatan Tombolo Pao

Dinas Kehutanan
Konflik tenurial ini berawal  dari proyek pembibitan pinus di Dusun Matteko tahun 1977. Setahun kemudian (1978) dilakukan penanaman di dusun yang sama. Setahun setelah penanaman (1979) Dishut Kabupaten Gowa lantas menetapkan dusun Matteko sebagai kawasan hutan lindung.
Akibat dari penetapan wilayah kelola masyarakat di dusun Matteko menjadi kawasan Hutan Negara menyebabkan  kemiskinan. Beberapa warga dusun Matteko ditetapkan menjadi tersangka dengan tuduhan melakukan penyerobotan kawasan Hutan Lindung

Jumlah masyarakat korban dari konflik ini sebanyak  80 KK
8
Kehutanan
Kabupaten Enrekang;
-    Kecamatan Maiwa

Dinas Kehutanan
Permasalahan/konflik yang terjadi disebabkan wilayah Kelola Masyarakat Adat Baringin ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Negara.
Secara administrative wilayah  Masyarakat Adat Baringin yang saat ini telah ditetapkan sebagai desa defenitif seluas 30,20 Km2, yang terbagi dalam 4 Dusun (Dusun Baringin, Dusun Lasaba’, Dusun Botto Cendana, Dusun Galiso’) , 3 RW/RK dan 6 RT. Dengan jumlah anggota Masyarakat Adat sebanyak 1.093 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 547 jiwa, dan perempuan 546 jiwa. Yang mana sebagian besar merupakan wilayah kawasan Hutan Negara. 


9
Tambang
Kabupaten Luwu Timur;
-    Kecamatan Nuha

PT. Inco,tbk

10
Tambang
Kabupaten Sinjai;
-   Kecamatan Sinjai Borong

PT. Galena Sumber Energi
Awal mula konflik terjadi akibat adanya Izin Usaha Pertambangan (IUP)  eksplorasi tambang emas di wilayah adat Barambang Katute oleh PT. hal inilah kemudian yang mendapat reaksi penolakan Masyarakat Adat Barambang Katute Desa Bonto Katute yang tidak menginginkan wilayah adat mereka di jadikan areal pertambangan.
Jumlah penduduk Desa Bontokatute sebanyak 2.678 jiwa (1.492 laki-laki, 1.189 perempuan) dengan 608 KK dan luas desa 15,63 km²
11
Perkebunan
Kabupaten Bulukumba;


PT. London Sumatera

12
Perkebunan
Kabupaten Takalar;
-      Kecamatan Polong bangkeng selatan
-      Kecamatan Polongbangkeng utara

PTPN XIV



Tidak ada komentar:

Posting Komentar