Rabu, 03 Juli 2013

Kenaikan Harga-harga Secara Umum



‘’Jeritan Kenaikan Harga’’
(Telah diterbitkan di opini media Fajar Edisi 03 Juli 2013)
 
Masyarakat kecil nan tak berdaya, hidup serba kekurangan, Upah yang rendah, kesehatan yang rentan, kecukupan gizi yang rendah, pendidikan yang rendah, produktivitas yang rendah, adalah sederet polemik kehidupan masyarakat yang berada pada lingkaran setan kemiskinan. Kondisi demikian kian terpuruk ditengah kondisi pasar yang menunjukkan kenaikan harga-harga secara umum (Inflation).
Problem Kenaikan Harga
            Dua Pekan keputusan Pemerintah menaikkan Harga BBM telah terasa oleh masyarakat lapisan menengah ke bawah. Kenaikan Harga BBM Domestik yang mencapai 44,4 persen, telah memicu kenaikan harga-harga secara umum yang fantastis dan bervariasi. Meskipun diakui telah banyak spekulasi yang terjadi di pasar barang/komoditas pra kenaikan BBM yang bobotnya bertambah pasca kenaikan BBM. Inflasi Nasional yang di targetkan  dalam APBNP 2013 sebesar 7,2 persen sangat memungkinkan untuk meleset sampai 8 persen. Inflasi tersebut tentunya diakibatkan oleh stabilitas perekonomian regional dan daerah yang terus goyang hingga melampaui rata-rata inflasi nasional. Kenaikan harga-harga secara umum ini menghantam hampir di setiap sendi kehidupan masyarakat, mulai dari sektor angkutan dan transportasi, sektor property, hingga yang paling vital dan paling meresahkan masyarakat adalah kenaikan harga-harga pangan yang melambung tinggi.
            Pasca kenaikan BBM, sektor transportasi dan angkutan umum menaikkan harga secara sepihak yang semula hampir disemua rute angkutan di kota Makassar adalah Rp.3000,- kini meningkat menjadi Rp.4000,- atau mengalami peningkatan 33,3 persen. Sementara harga sektor pangan di beberapa pasar tradisional meningkat relative sama. Harga telur ayam ras misalnya sebelum kenaikan BBM berkisar Rp.26.000,-31.000/rak,- kini meningkat menjadi Rp. 32.000,- Rp. 37.000/rak. atau rata-rata meningkat 15,6 persen. Dalam kondisi seperti ini hal yang paling lazim dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan proteksi harga dengan menggunakan persentase limit tertinggi untuk toleransi kenaikan harga.
Sekiranya peraturan daerah kabupaten/kota menetapkan persentase yang sama misalnya Pemprov Sulsel telah menetapkan batas tertinggi untuk kenaikan tarif angkutan umum maksimal 20 persen, maka polemik selanjutnya adalah apakah ketentuan tersebut sejalan dengan fakta lapangan yang cenderung melakukan pembulatan ke atas ketimbang pembulatan ke bawah atas harga yang dipandang ganjil. Secara sederhana Misalnya tarif angkutan kota yang semula rata-rata Rp.3000,-pasca kenaikan (Rp.3000 ×20/100)=Rp.600+Rp.3000= Rp.3600,- untuk pelajar semula rata-rata Rp.2000,- pasca kenaikan (Rp.2000×20/100)=Rp.400+2000=Rp.2400,-. Fakta yang terjadi tidaklah demikian seperti perhitungan di atas, seringkali kita temukan hampir secara menyeluruh sopir angkutan umum lebih memilih melakukan pembulatan ke atas, dengan alasan klasik, tidak ada uang kecil, dilain sisi, keuntungan bertambah, dan setoran lancar, atau teorinya pembulatan tarif mendahului persentase target kenaikan tarif, dan sekali lagi masyarakat yang menanggung keadaan ini.
Di Sektor Pangan, kenaikan harga-harga sembako relativ di picu oleh naiknya ongkos transportasi distribusi komoditas pangan/kilogram dari berbagai daerah, asumsi ini lebih rasional dan faktual bila dibandingkan dengan pandangan beberapa pihak yang menilai kenaikan harga yang melambung tinggi akibat panjangnya saluran distribusi komoditas dari produsen hingga ke konsumen pengguna  sehingga menghasilkan usulan untuk pemangkasan saluran distribusi yang ada diberbagai daerah untuk menjamin harga dan inflasi tidak melambung tinggi.

Penentu Kenaikan Harga
Dalam  kondisis tertentu  semua  harga pada   pasar   adalah   seragam    atau   sama setelah diperhitungkan penambahan biaya untuk kegunaan tempat, waktu dan bentuk. Pada realitasnya harga tidak selalu seragam pada setiap pasar,  sehinggga  mereka    menyatakan  perbedaan harga   antar  pasar   sebanding dengan   biaya   pemindahan   produk   antar   pasar. Dengan demikian   apabila   biaya pemindahan antar pasar relatif tetap, perbandingan harga antar pasar  relatif tetap juga atau terjadi keterkaitan harga antar pasar. Kohls (2000).
Kenaikan harga-harga secara umum (Inflasi) saat ini diigerakkan dari sisi penawaran (supply) atau kenaikan harga akibat kenaikan biaya (Cost Push Inflation). Secara deskriptif dapat dijelaskan bahwa ketika harga-harga secara umum meningkat akibat desakan biaya produksi ataupun distribusi maka akan mempengaruhi permintaan efektif (effective demand) yang cenderung menurun dengan asumsi pendapatan tetap (constant). Adalah sangat menarik anggapan bahwa kenaikan harga BBM tampaknya tak akan berpengaruh besar terhadap kenaikan harga pangan di Indonesia. Faktanya spekulasi sektor pangan pasca kenaikan BBM memberi dampak buruk terhadap penentuan kenaikan harga pangan di pasar.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                
Ekspektasi Masyarakat
Permintaan baru mempunyai arti bila didukung oleh “daya beli” permintaan barang. Kenaikan harga BBM telah mengakibatkan biaya hidup meningkat, ditengah pendapatan yang relativ tetap. Keadaan demikian tentunya tidak hanya berdampak pada masyarakat pengguna barang dan jasa namun juga turut dirasakan oleh pedagang dan produsen akibat permintaan aggregate yang menurun. Skema kebijakan pemerintah untuk mengurangi dampak kenaikan BBM untuk masyarakat miskin dalam bentuk BLSM Rp.150.000/bln plus kenaikan kuota Raskin selama 4 bulan secara rasional dan kuantitatif tidaklah berbanding linear dengan gejolak yang ditimbulkan dari kenaikan BBM, dilain sisi banyak diantara mayarakat yang pantas menerima kompensasi namun tidak terdaftar sebagai penerima.
Profil  Penulis





Wardihan Sabar