Rabu, 17 Juli 2013

Miskin dan Termiskinkan

Bagi orang miskin semuanya menyedihkan. Penyakit, hinaan, rasa malu. Kami pincang, kami takut pada segala hal, kami bergantung pada semua orang. Tak ada yang membutuhkan kami, kami seperti sampah yang hendak dibuang oleh semua orang. (Seorang Perempuan buta dan Miskin di Tiraspol, Maldova).
Gelombang protes atas kebijakan pemerintah menanggulangi dampak kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) melalui program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang dinilai oleh masyarakat tidak tepat sasaran berlangsung hampir disemua daerah. Keadaan ini semakin membuktikan bahwa kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah seringkali tidak terencana dengan baik, mulai dari situasi ekonomi yang sangat menyulitkan masyarakat lapisan menengah kebawah, sampai pada penanggulangan situasional dari dampak kenaikan BBM dan inflasi yang menguat dibulan Ramadhan semakin menyulitkan keadaan ekonomi masyarakat.
Sangat menyedihkan, ternyata dihampir semua daerah mempersoalkan hal yang serupa dimana banyak yang layak menerima bantuan namun tidak terakomodir dalam pendataan dan sebaliknya, yang dinilai mampu mulai dari mereka yang memiliki mobil, rumah mewah, perhiasan emas, PNS golongan III, sampai pada kelas pedagang dan pengrajin yang memiliki pendapatan yang tinggi justru ikut mengantri ditempat yang tidak seharusnya mereka tempati, dan hebatnya lagi, hampir di semua daerah masih terdapat daftar nama penerima yang telah meninggal dunia. Kebijakan ini tentunya sangat tidak mendidik masyarakat, mengajarkan masyarakat untuk berpikir instan dan pragmatis, terlebih lagi kebijakan ini menimbulkan diskriminasi sosial dan  mencerminkan sikap pemerintah yang tidak pernah belajar dari kegagalan Kebijakan serupa yakni program Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahun 2008, wajar pula jika dampak dari kekacauan ini membuat sebagian pihak menjadi sangsi atas keakuratan publikasi data BPS.
Pendataan Tidak Akurat
Standar kemiskinan dan pendataan yang membingungkan berujung pada perolehan data yang tidak akurat. Saling tuding menuding pun terjadi diantara instansi pemerintah dan Badan Pusat Statistik (BPS) selaku lembaga yang bertanggung jawab penuh atas publikasi data kemiskinan yang menjadi dasar/rujukan penyaluran BLSM. Terkhusus di Sulawesi Selatan, jumlah Rumah Tangga Sasaran (RTS) sekitar 488.617, yang tersebar dibeberapa kabupaten kota yang ada di wilayah ini. Setelah ditelisik, lebih jauh data ini diperoleh dari sensus penduduk 2010 yang mencatat jumlah penduduk 237,6 juta orang dengan rumah tangga sekitar 60 juta lebih. Dari jumlah tersebut, dibuat sebuah modal yang dicocokkan dengan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan dipadukan dengan besaran pengeluaran.
Dari data tersebut, BPS mengurutkan dari pendapatan tertinggi sampai terendah sehingga diperoleh angka 40 persen masyarakat pendapatan terbawah. Data ini menjadi data dasar yang terpadu untuk digunakan sebagai dasar bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan untuk berbagai program. Baik itu raskin, BSM, maupun BLSM. Yang menarik bahwa ternyata data yang digunakan bersumber dari data yang terpaut 3 tahun silam tepatnya data tahun 2010. Pun jika dijadikan rujukan, mestinya ada verifikasi lebih akurat mengenai data kemiskinan yang       up  to date, bukan sebaliknya, bermasa bodoh dengan data yang ada. Sangatlah wajar jika sebagian besar Rumah Tangga Miskin (RTM) protes karena merasa semakin termiskinkan dengan program yang tidak berpihak pada mereka. Lain halnya dengan mereka yang senang mengaku miskin, dimiskinkan untuk sementara waktu, atau kaget karena di pandang miskin dan mendapatkan kartu kompensasi.

Kriteria Yang Kontradiktif
Orang-orang miskin sering menderita kekurangan gizi, tingkat kesehatan yang buruk, sedikit melek huruf, atau buta huruf sama sekali, hidup dilingkungan yang buruk, kurang terwakili secara politis, dan berusaha memperoleh penghasilan yang minim disebuah pertanian kecil dan marjinal atau di daerah kumuh (Todaro:2006). Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik dan Departemen Sosial (2002:3-4) kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimum untuk hidup layak.
Data Rumah Tangga Miskin untuk program BLSM masih banyak yang ditemukan sangat jauh dari kriteria miskin yang ditetapkan oleh BPS. Ataukah dalam pendataan subjektivisme penilaian lebih dikedepankan ketimbang standar yang telah ditetapkan sehingga kredibilitas pendata mesti dipertanyakan. Atukah ada politisasi data kemiskinan yang bersumber dari bawah untuk program-program tertentu yang menguntungkan segelintir orang/pihak. Data kemiskinan tidak akan pernah berarti apa-apa jika data tersebut tidak dikaitkan dengan kebijakan yang tepat sasaran. Dan keakuratan data baru akan teruji pada saat data tersebut dibenturkan pada faktanya. Dan seringkali ditemukan data yang dijadikan rujukan tidak sejalan dengan lapangan.
Profil  Penulis





Wardihan Sabar