Bagi
orang miskin semuanya menyedihkan. Penyakit, hinaan, rasa malu. Kami pincang,
kami takut pada segala hal, kami bergantung pada semua orang. Tak ada yang
membutuhkan kami, kami seperti sampah yang hendak dibuang oleh semua orang. (Seorang Perempuan buta dan Miskin di
Tiraspol, Maldova).
Gelombang
protes atas kebijakan pemerintah menanggulangi dampak kenaikan Bahan Bakar
Minyak (BBM) melalui program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang
dinilai oleh masyarakat tidak tepat sasaran berlangsung hampir disemua daerah.
Keadaan ini semakin membuktikan bahwa kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah
seringkali tidak terencana dengan baik, mulai dari situasi ekonomi yang sangat
menyulitkan masyarakat lapisan menengah kebawah, sampai pada penanggulangan
situasional dari dampak kenaikan BBM dan inflasi yang menguat dibulan Ramadhan semakin
menyulitkan keadaan ekonomi masyarakat.
Sangat menyedihkan, ternyata dihampir semua
daerah mempersoalkan hal yang serupa dimana banyak yang layak menerima bantuan
namun tidak terakomodir dalam pendataan dan sebaliknya, yang dinilai mampu
mulai dari mereka yang memiliki mobil, rumah mewah, perhiasan emas, PNS
golongan III, sampai pada kelas pedagang dan pengrajin yang memiliki pendapatan
yang tinggi justru ikut mengantri ditempat yang tidak seharusnya mereka
tempati, dan hebatnya lagi, hampir di semua daerah masih terdapat daftar nama
penerima yang telah meninggal dunia. Kebijakan ini tentunya sangat tidak
mendidik masyarakat, mengajarkan masyarakat untuk berpikir instan dan
pragmatis, terlebih lagi kebijakan ini menimbulkan diskriminasi sosial dan mencerminkan sikap pemerintah yang tidak
pernah belajar dari kegagalan Kebijakan serupa yakni program Bantuan Langsung
Tunai (BLT) tahun 2008, wajar pula jika dampak dari kekacauan ini membuat
sebagian pihak menjadi sangsi atas keakuratan publikasi data BPS.
Pendataan
Tidak Akurat
Standar kemiskinan dan pendataan yang
membingungkan berujung pada perolehan data yang tidak akurat. Saling tuding
menuding pun terjadi diantara instansi pemerintah dan Badan Pusat Statistik
(BPS) selaku lembaga yang bertanggung jawab penuh atas publikasi data
kemiskinan yang menjadi dasar/rujukan penyaluran BLSM. Terkhusus di Sulawesi
Selatan, jumlah Rumah Tangga Sasaran (RTS) sekitar 488.617, yang tersebar
dibeberapa kabupaten kota yang ada di wilayah ini. Setelah ditelisik, lebih
jauh data ini diperoleh dari sensus penduduk 2010 yang mencatat jumlah penduduk
237,6 juta orang dengan rumah tangga sekitar 60 juta lebih. Dari jumlah
tersebut, dibuat sebuah modal yang dicocokkan dengan hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) dan dipadukan dengan besaran pengeluaran.
Dari data tersebut, BPS mengurutkan dari
pendapatan tertinggi sampai terendah sehingga diperoleh angka 40 persen
masyarakat pendapatan terbawah. Data ini menjadi data dasar yang terpadu untuk
digunakan sebagai dasar bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan untuk
berbagai program. Baik itu raskin, BSM, maupun BLSM. Yang menarik bahwa
ternyata data yang digunakan bersumber dari data yang terpaut 3 tahun silam
tepatnya data tahun 2010. Pun jika dijadikan rujukan, mestinya ada verifikasi
lebih akurat mengenai data kemiskinan yang up to date, bukan sebaliknya, bermasa bodoh
dengan data yang ada. Sangatlah wajar jika sebagian besar Rumah Tangga Miskin (RTM)
protes karena merasa semakin termiskinkan dengan program yang tidak berpihak
pada mereka. Lain halnya dengan mereka yang senang mengaku miskin, dimiskinkan
untuk sementara waktu, atau kaget karena di pandang miskin dan mendapatkan
kartu kompensasi.
Kriteria Yang Kontradiktif
Orang-orang
miskin sering menderita kekurangan gizi, tingkat kesehatan yang buruk, sedikit
melek huruf, atau buta huruf sama sekali, hidup dilingkungan yang buruk, kurang
terwakili secara politis, dan berusaha memperoleh penghasilan yang minim
disebuah pertanian kecil dan marjinal atau di daerah kumuh (Todaro:2006). Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik dan Departemen
Sosial (2002:3-4) kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi
kebutuhan dasar minimum untuk hidup layak.
Data Rumah Tangga Miskin untuk program BLSM
masih banyak yang ditemukan sangat jauh dari kriteria miskin yang ditetapkan
oleh BPS. Ataukah dalam pendataan subjektivisme penilaian lebih dikedepankan
ketimbang standar yang telah ditetapkan sehingga kredibilitas pendata mesti
dipertanyakan. Atukah ada politisasi data kemiskinan yang bersumber dari bawah
untuk program-program tertentu yang menguntungkan segelintir orang/pihak. Data
kemiskinan tidak akan pernah berarti apa-apa jika data tersebut tidak dikaitkan
dengan kebijakan yang tepat sasaran. Dan keakuratan data baru akan teruji pada
saat data tersebut dibenturkan pada faktanya. Dan seringkali ditemukan data
yang dijadikan rujukan tidak sejalan dengan lapangan.
Profil Penulis
Wardihan Sabar