Opini Media Fajar Edisi 27 Maret 2014
Tak lebih dari dua pekan lagi, atau
tepatnya tanggal 9 April 2014, pesta demokrasi, (pemilihan calon Legislatif)
segera berlangsung serentak di santero negeri ini. Segala upaya ataupun
strategi politik digunakan untuk menarik simpatik masyarakat, termasuk
diantaranya adalah media publikasi figur calon legislatif terhormat yang banyak
menuai antipati dari publik secara meluas.
Kemeriahan
menyambut pesta demokrasi, tidaklah seharusnya meberikan masyarakat pemandangan
jalan yang merusak estetika kota. Di semua jalan Utama Kota Makassar
(Protokoler) sampai dengan dijalan kecil atau lorong-lorong, pohon menjadi
sasaran empuk spanduk, baliho/benner politisi. Gambar senyum, sapa, dan tageline bermakna pilihlah aku, semua
berada dibalik tangisan pohon-pohon yang terlukai akibat di brondol paku
7-10cm.
Efisiensi Biaya Politik
Pemahaman
akan hak dan kewajiban menjaga dan melestarikan lingkungan hidup seringkali
dikesampingkan demi aktualisasi diri yang tidak sejalan dengan semangat cinta
lingkungan. Perang baliho Caleg/eksekutif telah menjadi potret yang tidak asing
lagi bagi masyarakat Kota Daeng di setiap momentum Pesta demokrasi.
Analisis sederhana dibalik kebiasaan demikian adalah
efisiensi unit biaya politik (efficiency
in political cost unit). Secara umum perilaku seseorang berorintasi
memaksimumkan kepuasannya (maximum
utility) dengan mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki secara efektif
dan efisien. Pandangan demikian sangat memungkinkan digunakan untuk
mengefisienkan biaya media politik yang digunakan.
Pertama
jika seorang politisi memungkinkan mencetak Baliho dengan ukuran 6x4m dengan
asumsi 17.000/m, maka diperlukan tambahan biaya untuk membuat rangka yang kuat
untuk menegakkan baliho tersebut, tampak megah namun dengan resiko yang cukup
tinggi. Kedua lain halnya jika baliho
tersebut di pecah permeter maka akan jadi 24 baliho dengan biaya tambahan
tergantung dari pola pemasangan. Jika pola pemasangan menggunakan stan bambu
yang tancapkan ke tanah maka membutuhkan tambahan biaya yang tidak jauh berbeda
dengan pola yang pertama, hasilnya banyak namun mudah di cabut oleh oknum
tertentu. Walhasil pola pemasangan yang paling aman dan rendah biaya adalah
dengan bermodalkan paku dan palu yang bekerja dimalam hari.
Pandangan
demikian seringkali mengajarkan masyarakat untuk hidup masa bodoh dan merupakan
salah satu pendidikan politik yang tidak mendidik. Pajak rakyat yang digunakan
oleh pemerintah untuk memelihara keindahan kota menjadi semeraut ketika momen
pesta demorasi para elit-elit politik. Sebagian masyarakat menjadi alergi
dengan foto-foto figur yang tidak tertata dengan baik, dan sebagian lagi menjadikan
hal tersebut menjadi takaran kebanggaan karena publikasinya yang terbanyak di
hampir semua pohon yang berada di wilayah pemilihannya.
Seharusnya
para figur calon wakil rakyat ini sadar dan berupaya mengedepankan asumsi bahwa
sebagian besar masyarakat kota Makassar merupakan pemilih yang cerdas, cinta
pada keindahan kota, dan butuh pendekatan media politik yang tidak lagi
menggunakan pohon sebagai sarana publikasi diri. Asumsi ini tentu akan mendidik
dan mengajak untuk berpikir akan pola media publikasi figur yang lebih tepat
guna, waktu, dan tempat.
Butuh
Aturan Tegas
Makassar Green and Clean tidaklah hanya sebatas
ide/ atau jargon Serba hijau ala green
public syndrome. semangat green
telah berubah menjadi tuntutan kuat masyarakat untuk lingkungan hidup yang
lebih baik. Kurniawan (2013).
Ketidaktertiban publikasi figur
calon wakil rakyat dan calon pemimpin negeri ini telah seringkali di persoalkan
dan mendapat kritik yang dari berbagai pihak, namun tidak pernah mendapat
solusi tegas dari Pemerintah Kota Makassar. Pohon yang sedianya menjadi
penyanggah kesejukan kota dan estetika kota, diperlakukan sebagai fasilitas
yang paling efektif untuk publikasi figur.
Profil Penulis
Wardihan Sabar
Dosen LB. Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi-UNM
Pemerhati Lingkungan