Senin, 31 Maret 2014

Pesta Demokrasi dan Pohon Yang Sakit

Opini Media Fajar Edisi 27 Maret 2014
            Tak lebih dari dua pekan lagi, atau tepatnya tanggal 9 April 2014, pesta demokrasi, (pemilihan calon Legislatif) segera berlangsung serentak di santero negeri ini. Segala upaya ataupun strategi politik digunakan untuk menarik simpatik masyarakat, termasuk diantaranya adalah media publikasi figur calon legislatif terhormat yang banyak menuai antipati dari publik secara meluas.
            Kemeriahan menyambut pesta demokrasi, tidaklah seharusnya meberikan masyarakat pemandangan jalan yang merusak estetika kota. Di semua jalan Utama Kota Makassar (Protokoler) sampai dengan dijalan kecil atau lorong-lorong, pohon menjadi sasaran empuk spanduk, baliho/benner politisi. Gambar senyum, sapa, dan tageline bermakna pilihlah aku, semua berada dibalik tangisan pohon-pohon yang terlukai akibat di brondol paku 7-10cm.

Efisiensi Biaya Politik
Pemahaman akan hak dan kewajiban menjaga dan melestarikan lingkungan hidup seringkali dikesampingkan demi aktualisasi diri yang tidak sejalan dengan semangat cinta lingkungan. Perang baliho Caleg/eksekutif telah menjadi potret yang tidak asing lagi bagi masyarakat Kota Daeng di setiap momentum Pesta demokrasi.
 Analisis sederhana dibalik kebiasaan demikian adalah efisiensi unit biaya politik (efficiency in political cost unit). Secara umum perilaku seseorang berorintasi memaksimumkan kepuasannya (maximum utility) dengan mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki secara efektif dan efisien. Pandangan demikian sangat memungkinkan digunakan untuk mengefisienkan biaya media politik yang digunakan.
Pertama jika seorang politisi memungkinkan mencetak Baliho dengan ukuran 6x4m dengan asumsi 17.000/m, maka diperlukan tambahan biaya untuk membuat rangka yang kuat untuk menegakkan baliho tersebut, tampak megah namun dengan resiko yang cukup tinggi. Kedua lain halnya jika baliho tersebut di pecah permeter maka akan jadi 24 baliho dengan biaya tambahan tergantung dari pola pemasangan. Jika pola pemasangan menggunakan stan bambu yang tancapkan ke tanah maka membutuhkan tambahan biaya yang tidak jauh berbeda dengan pola yang pertama, hasilnya banyak namun mudah di cabut oleh oknum tertentu. Walhasil pola pemasangan yang paling aman dan rendah biaya adalah dengan bermodalkan paku dan palu yang bekerja dimalam hari.
Pandangan demikian seringkali mengajarkan masyarakat untuk hidup masa bodoh dan merupakan salah satu pendidikan politik yang tidak mendidik. Pajak rakyat yang digunakan oleh pemerintah untuk memelihara keindahan kota menjadi semeraut ketika momen pesta demorasi para elit-elit politik. Sebagian masyarakat menjadi alergi dengan foto-foto figur yang tidak tertata dengan baik, dan sebagian lagi menjadikan hal tersebut menjadi takaran kebanggaan karena publikasinya yang terbanyak di hampir semua pohon yang berada di wilayah pemilihannya.
Seharusnya para figur calon wakil rakyat ini sadar dan berupaya mengedepankan asumsi bahwa sebagian besar masyarakat kota Makassar merupakan pemilih yang cerdas, cinta pada keindahan kota, dan butuh pendekatan media politik yang tidak lagi menggunakan pohon sebagai sarana publikasi diri. Asumsi ini tentu akan mendidik dan mengajak untuk berpikir akan pola media publikasi figur yang lebih tepat guna, waktu, dan tempat. 
Butuh Aturan Tegas
            Makassar Green and Clean tidaklah hanya sebatas ide/ atau jargon Serba hijau ala green public syndrome. semangat green telah berubah menjadi tuntutan kuat masyarakat untuk lingkungan hidup yang lebih baik. Kurniawan (2013).
            Ketidaktertiban publikasi figur calon wakil rakyat dan calon pemimpin negeri ini telah seringkali di persoalkan dan mendapat kritik yang dari berbagai pihak, namun tidak pernah mendapat solusi tegas dari Pemerintah Kota Makassar. Pohon yang sedianya menjadi penyanggah kesejukan kota dan estetika kota, diperlakukan sebagai fasilitas yang paling efektif untuk publikasi figur.
Profil  Penulis





Wardihan Sabar
Dosen LB. Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi-UNM
Pemerhati Lingkungan