Jumat, 18 Oktober 2013

Pedoman Penulisan Laporan Studi Kasus

Berikut adalah sintesis pedoman penulisan laporan studi kasus. Judul masing-masing bagian dapat disesuaikan, tidak perlu sama persis dengan yang tertera di pedoman ini. Jumlah kata keseluruhan laporan studi kasus adalah 7000 – 9000 kata (di masing-masing bagian ada kisaran bobot jumlah kata).
 
1. Pendahuluan (maksimal 500 kata)
Bagian ini merupakan pengantar dari laporan studi kasus, berisi tentang ringkasan singkat mengenai riset studi kasus ini. Pada bagian ini dipaparkan mengenai latar belakang penelitian dan mengapa riset ini perlu dilakukan. Ini kurang lebih sejalan dengan apa yang sudah dipaparkan dalam bagian Pendahuluan pada Desain Proposal penelitian.

Pada bagian ini juga diceritakan secara singkat apa hasil dari riset yang didapatkan.

2. Teori atau perspektif yang digunakan (1500 – 2000 kata)
Bagian ini memaparkan teori, konsep atau perspektif yang digunakan dalam meneliti subjek riset. Idealnya, teori atau konsep yang digunakan juga merupakan bagian dari Desain Proposal penelitian. Jika belum ada sebelumnya, rekan-rekan tetap akan melakukan kajian pustaka selama penelitian berlangsung, untuk mendapatkan teori atau perspektif yang digunakan dalam penelitian. Satu atau dua teori / konsep besar cukup untuk riset ini.

3. Studi kasus (4000 – 5000 kata)
Bagian ini menceritakan detil hasil penelitian, studi kasus.

Bagian ini diawali dengan metode yang diterapkan (kualitatif atau kuantitatif), instrumen yang digunakan (wawancara, survey, focus group discussion), dan profil singkat narasumber penelitian ini (berapa orang yang diwawancara, siapa saja, dari organisasi mana saja, jabatannya apa). Proses pengambilan data juga dapat dipaparkan secara singkat di awal bagian ini, agar pembaca mendapatkan gambaran mengenai proses tersebut.

Detil hasil penelitian dituliskan dengan alur cerita tertentu. Hasil-hasil wawancara dan/atau focus group discussion (FGD) ditampilkan secara verbatim  (yaitu kata demi kata, dari hasil transkripsi wawancara), dengan format menggunakan double quote, inden masuk 1 tab, dan diakhiri label nama narasumber, organisasi narasumber dan tanggal wawancara atau FGD.  

Contoh penulisan quote wawancara:
            “Peraturan pemerintah hanya menggambarkan kepentingan pemerintah. KPI tidak berwenang. Padahal sebelumnya yang lebih detail peraturannya itu di bawah peraturan pemerintah. Nah di peraturan pemerintah itu birokrasi banyak membabat peraturan dari KPI” (Agus Sudibyo, KPI, wawancara, 27/10/2011)

4. Refleksi dan Kesimpulan (1000 – 1500 kata)
Gunakan teori atau perspektif sejauh mungkin untuk merefleksikan dan menganalisis hasil penelitian. Lakukan analisis tentang mengapa bisa terjadi, apa yang bisa diperbaiki, dan rekomendasi untuk kebijakan dan/atau penelitian berikutnya.

Rabu, 17 Juli 2013

Miskin dan Termiskinkan

Bagi orang miskin semuanya menyedihkan. Penyakit, hinaan, rasa malu. Kami pincang, kami takut pada segala hal, kami bergantung pada semua orang. Tak ada yang membutuhkan kami, kami seperti sampah yang hendak dibuang oleh semua orang. (Seorang Perempuan buta dan Miskin di Tiraspol, Maldova).
Gelombang protes atas kebijakan pemerintah menanggulangi dampak kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) melalui program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang dinilai oleh masyarakat tidak tepat sasaran berlangsung hampir disemua daerah. Keadaan ini semakin membuktikan bahwa kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah seringkali tidak terencana dengan baik, mulai dari situasi ekonomi yang sangat menyulitkan masyarakat lapisan menengah kebawah, sampai pada penanggulangan situasional dari dampak kenaikan BBM dan inflasi yang menguat dibulan Ramadhan semakin menyulitkan keadaan ekonomi masyarakat.
Sangat menyedihkan, ternyata dihampir semua daerah mempersoalkan hal yang serupa dimana banyak yang layak menerima bantuan namun tidak terakomodir dalam pendataan dan sebaliknya, yang dinilai mampu mulai dari mereka yang memiliki mobil, rumah mewah, perhiasan emas, PNS golongan III, sampai pada kelas pedagang dan pengrajin yang memiliki pendapatan yang tinggi justru ikut mengantri ditempat yang tidak seharusnya mereka tempati, dan hebatnya lagi, hampir di semua daerah masih terdapat daftar nama penerima yang telah meninggal dunia. Kebijakan ini tentunya sangat tidak mendidik masyarakat, mengajarkan masyarakat untuk berpikir instan dan pragmatis, terlebih lagi kebijakan ini menimbulkan diskriminasi sosial dan  mencerminkan sikap pemerintah yang tidak pernah belajar dari kegagalan Kebijakan serupa yakni program Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahun 2008, wajar pula jika dampak dari kekacauan ini membuat sebagian pihak menjadi sangsi atas keakuratan publikasi data BPS.
Pendataan Tidak Akurat
Standar kemiskinan dan pendataan yang membingungkan berujung pada perolehan data yang tidak akurat. Saling tuding menuding pun terjadi diantara instansi pemerintah dan Badan Pusat Statistik (BPS) selaku lembaga yang bertanggung jawab penuh atas publikasi data kemiskinan yang menjadi dasar/rujukan penyaluran BLSM. Terkhusus di Sulawesi Selatan, jumlah Rumah Tangga Sasaran (RTS) sekitar 488.617, yang tersebar dibeberapa kabupaten kota yang ada di wilayah ini. Setelah ditelisik, lebih jauh data ini diperoleh dari sensus penduduk 2010 yang mencatat jumlah penduduk 237,6 juta orang dengan rumah tangga sekitar 60 juta lebih. Dari jumlah tersebut, dibuat sebuah modal yang dicocokkan dengan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan dipadukan dengan besaran pengeluaran.
Dari data tersebut, BPS mengurutkan dari pendapatan tertinggi sampai terendah sehingga diperoleh angka 40 persen masyarakat pendapatan terbawah. Data ini menjadi data dasar yang terpadu untuk digunakan sebagai dasar bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan untuk berbagai program. Baik itu raskin, BSM, maupun BLSM. Yang menarik bahwa ternyata data yang digunakan bersumber dari data yang terpaut 3 tahun silam tepatnya data tahun 2010. Pun jika dijadikan rujukan, mestinya ada verifikasi lebih akurat mengenai data kemiskinan yang       up  to date, bukan sebaliknya, bermasa bodoh dengan data yang ada. Sangatlah wajar jika sebagian besar Rumah Tangga Miskin (RTM) protes karena merasa semakin termiskinkan dengan program yang tidak berpihak pada mereka. Lain halnya dengan mereka yang senang mengaku miskin, dimiskinkan untuk sementara waktu, atau kaget karena di pandang miskin dan mendapatkan kartu kompensasi.

Kriteria Yang Kontradiktif
Orang-orang miskin sering menderita kekurangan gizi, tingkat kesehatan yang buruk, sedikit melek huruf, atau buta huruf sama sekali, hidup dilingkungan yang buruk, kurang terwakili secara politis, dan berusaha memperoleh penghasilan yang minim disebuah pertanian kecil dan marjinal atau di daerah kumuh (Todaro:2006). Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik dan Departemen Sosial (2002:3-4) kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimum untuk hidup layak.
Data Rumah Tangga Miskin untuk program BLSM masih banyak yang ditemukan sangat jauh dari kriteria miskin yang ditetapkan oleh BPS. Ataukah dalam pendataan subjektivisme penilaian lebih dikedepankan ketimbang standar yang telah ditetapkan sehingga kredibilitas pendata mesti dipertanyakan. Atukah ada politisasi data kemiskinan yang bersumber dari bawah untuk program-program tertentu yang menguntungkan segelintir orang/pihak. Data kemiskinan tidak akan pernah berarti apa-apa jika data tersebut tidak dikaitkan dengan kebijakan yang tepat sasaran. Dan keakuratan data baru akan teruji pada saat data tersebut dibenturkan pada faktanya. Dan seringkali ditemukan data yang dijadikan rujukan tidak sejalan dengan lapangan.
Profil  Penulis





Wardihan Sabar







Rabu, 03 Juli 2013

Kenaikan Harga-harga Secara Umum



‘’Jeritan Kenaikan Harga’’
(Telah diterbitkan di opini media Fajar Edisi 03 Juli 2013)
 
Masyarakat kecil nan tak berdaya, hidup serba kekurangan, Upah yang rendah, kesehatan yang rentan, kecukupan gizi yang rendah, pendidikan yang rendah, produktivitas yang rendah, adalah sederet polemik kehidupan masyarakat yang berada pada lingkaran setan kemiskinan. Kondisi demikian kian terpuruk ditengah kondisi pasar yang menunjukkan kenaikan harga-harga secara umum (Inflation).
Problem Kenaikan Harga
            Dua Pekan keputusan Pemerintah menaikkan Harga BBM telah terasa oleh masyarakat lapisan menengah ke bawah. Kenaikan Harga BBM Domestik yang mencapai 44,4 persen, telah memicu kenaikan harga-harga secara umum yang fantastis dan bervariasi. Meskipun diakui telah banyak spekulasi yang terjadi di pasar barang/komoditas pra kenaikan BBM yang bobotnya bertambah pasca kenaikan BBM. Inflasi Nasional yang di targetkan  dalam APBNP 2013 sebesar 7,2 persen sangat memungkinkan untuk meleset sampai 8 persen. Inflasi tersebut tentunya diakibatkan oleh stabilitas perekonomian regional dan daerah yang terus goyang hingga melampaui rata-rata inflasi nasional. Kenaikan harga-harga secara umum ini menghantam hampir di setiap sendi kehidupan masyarakat, mulai dari sektor angkutan dan transportasi, sektor property, hingga yang paling vital dan paling meresahkan masyarakat adalah kenaikan harga-harga pangan yang melambung tinggi.
            Pasca kenaikan BBM, sektor transportasi dan angkutan umum menaikkan harga secara sepihak yang semula hampir disemua rute angkutan di kota Makassar adalah Rp.3000,- kini meningkat menjadi Rp.4000,- atau mengalami peningkatan 33,3 persen. Sementara harga sektor pangan di beberapa pasar tradisional meningkat relative sama. Harga telur ayam ras misalnya sebelum kenaikan BBM berkisar Rp.26.000,-31.000/rak,- kini meningkat menjadi Rp. 32.000,- Rp. 37.000/rak. atau rata-rata meningkat 15,6 persen. Dalam kondisi seperti ini hal yang paling lazim dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan proteksi harga dengan menggunakan persentase limit tertinggi untuk toleransi kenaikan harga.
Sekiranya peraturan daerah kabupaten/kota menetapkan persentase yang sama misalnya Pemprov Sulsel telah menetapkan batas tertinggi untuk kenaikan tarif angkutan umum maksimal 20 persen, maka polemik selanjutnya adalah apakah ketentuan tersebut sejalan dengan fakta lapangan yang cenderung melakukan pembulatan ke atas ketimbang pembulatan ke bawah atas harga yang dipandang ganjil. Secara sederhana Misalnya tarif angkutan kota yang semula rata-rata Rp.3000,-pasca kenaikan (Rp.3000 ×20/100)=Rp.600+Rp.3000= Rp.3600,- untuk pelajar semula rata-rata Rp.2000,- pasca kenaikan (Rp.2000×20/100)=Rp.400+2000=Rp.2400,-. Fakta yang terjadi tidaklah demikian seperti perhitungan di atas, seringkali kita temukan hampir secara menyeluruh sopir angkutan umum lebih memilih melakukan pembulatan ke atas, dengan alasan klasik, tidak ada uang kecil, dilain sisi, keuntungan bertambah, dan setoran lancar, atau teorinya pembulatan tarif mendahului persentase target kenaikan tarif, dan sekali lagi masyarakat yang menanggung keadaan ini.
Di Sektor Pangan, kenaikan harga-harga sembako relativ di picu oleh naiknya ongkos transportasi distribusi komoditas pangan/kilogram dari berbagai daerah, asumsi ini lebih rasional dan faktual bila dibandingkan dengan pandangan beberapa pihak yang menilai kenaikan harga yang melambung tinggi akibat panjangnya saluran distribusi komoditas dari produsen hingga ke konsumen pengguna  sehingga menghasilkan usulan untuk pemangkasan saluran distribusi yang ada diberbagai daerah untuk menjamin harga dan inflasi tidak melambung tinggi.

Penentu Kenaikan Harga
Dalam  kondisis tertentu  semua  harga pada   pasar   adalah   seragam    atau   sama setelah diperhitungkan penambahan biaya untuk kegunaan tempat, waktu dan bentuk. Pada realitasnya harga tidak selalu seragam pada setiap pasar,  sehinggga  mereka    menyatakan  perbedaan harga   antar  pasar   sebanding dengan   biaya   pemindahan   produk   antar   pasar. Dengan demikian   apabila   biaya pemindahan antar pasar relatif tetap, perbandingan harga antar pasar  relatif tetap juga atau terjadi keterkaitan harga antar pasar. Kohls (2000).
Kenaikan harga-harga secara umum (Inflasi) saat ini diigerakkan dari sisi penawaran (supply) atau kenaikan harga akibat kenaikan biaya (Cost Push Inflation). Secara deskriptif dapat dijelaskan bahwa ketika harga-harga secara umum meningkat akibat desakan biaya produksi ataupun distribusi maka akan mempengaruhi permintaan efektif (effective demand) yang cenderung menurun dengan asumsi pendapatan tetap (constant). Adalah sangat menarik anggapan bahwa kenaikan harga BBM tampaknya tak akan berpengaruh besar terhadap kenaikan harga pangan di Indonesia. Faktanya spekulasi sektor pangan pasca kenaikan BBM memberi dampak buruk terhadap penentuan kenaikan harga pangan di pasar.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                
Ekspektasi Masyarakat
Permintaan baru mempunyai arti bila didukung oleh “daya beli” permintaan barang. Kenaikan harga BBM telah mengakibatkan biaya hidup meningkat, ditengah pendapatan yang relativ tetap. Keadaan demikian tentunya tidak hanya berdampak pada masyarakat pengguna barang dan jasa namun juga turut dirasakan oleh pedagang dan produsen akibat permintaan aggregate yang menurun. Skema kebijakan pemerintah untuk mengurangi dampak kenaikan BBM untuk masyarakat miskin dalam bentuk BLSM Rp.150.000/bln plus kenaikan kuota Raskin selama 4 bulan secara rasional dan kuantitatif tidaklah berbanding linear dengan gejolak yang ditimbulkan dari kenaikan BBM, dilain sisi banyak diantara mayarakat yang pantas menerima kompensasi namun tidak terdaftar sebagai penerima.
Profil  Penulis





Wardihan Sabar