‘’Jeritan Kenaikan Harga’’
(Telah diterbitkan di opini media
Fajar Edisi 03 Juli 2013)
Masyarakat kecil
nan tak berdaya, hidup serba kekurangan, Upah yang rendah, kesehatan yang
rentan, kecukupan gizi yang rendah, pendidikan yang rendah, produktivitas yang
rendah, adalah sederet polemik kehidupan masyarakat yang berada pada lingkaran
setan kemiskinan. Kondisi demikian kian terpuruk ditengah kondisi pasar yang
menunjukkan kenaikan harga-harga secara umum (Inflation).
Problem Kenaikan Harga
Dua Pekan keputusan
Pemerintah menaikkan Harga BBM telah terasa oleh masyarakat lapisan menengah ke
bawah. Kenaikan Harga BBM Domestik yang mencapai 44,4 persen, telah memicu
kenaikan harga-harga secara umum yang fantastis dan bervariasi. Meskipun diakui
telah banyak spekulasi yang terjadi di pasar barang/komoditas pra kenaikan BBM
yang bobotnya bertambah pasca kenaikan BBM. Inflasi Nasional yang di
targetkan dalam APBNP 2013 sebesar 7,2
persen sangat memungkinkan untuk meleset sampai 8 persen. Inflasi tersebut tentunya
diakibatkan oleh stabilitas perekonomian regional dan daerah yang terus goyang
hingga melampaui rata-rata inflasi nasional. Kenaikan harga-harga secara umum ini
menghantam hampir di setiap sendi kehidupan masyarakat, mulai dari sektor
angkutan dan transportasi, sektor property, hingga yang paling vital dan paling
meresahkan masyarakat adalah kenaikan harga-harga pangan yang melambung tinggi.
Pasca kenaikan BBM, sektor
transportasi dan angkutan umum menaikkan harga secara sepihak yang semula
hampir disemua rute angkutan di kota Makassar adalah Rp.3000,- kini meningkat
menjadi Rp.4000,- atau mengalami peningkatan 33,3 persen. Sementara harga
sektor pangan di beberapa pasar tradisional meningkat relative sama. Harga
telur ayam ras misalnya sebelum kenaikan BBM berkisar Rp.26.000,-31.000/rak,-
kini meningkat menjadi Rp. 32.000,- Rp. 37.000/rak. atau rata-rata meningkat
15,6 persen. Dalam kondisi seperti ini hal yang paling lazim dilakukan oleh
pemerintah adalah melakukan proteksi harga dengan menggunakan persentase limit
tertinggi untuk toleransi kenaikan harga.
Sekiranya
peraturan daerah kabupaten/kota menetapkan persentase yang sama misalnya
Pemprov Sulsel telah menetapkan batas tertinggi untuk kenaikan tarif angkutan
umum maksimal 20 persen, maka polemik selanjutnya adalah apakah ketentuan
tersebut sejalan dengan fakta lapangan yang cenderung melakukan pembulatan ke
atas ketimbang pembulatan ke bawah atas harga yang dipandang ganjil. Secara
sederhana Misalnya tarif angkutan kota yang semula rata-rata Rp.3000,-pasca
kenaikan (Rp.3000 ×20/100)=Rp.600+Rp.3000= Rp.3600,- untuk pelajar semula
rata-rata Rp.2000,- pasca kenaikan (Rp.2000×20/100)=Rp.400+2000=Rp.2400,-.
Fakta yang terjadi tidaklah demikian seperti perhitungan di atas, seringkali
kita temukan hampir secara menyeluruh sopir angkutan umum lebih memilih
melakukan pembulatan ke atas, dengan alasan klasik, tidak ada uang kecil,
dilain sisi, keuntungan bertambah, dan setoran lancar, atau teorinya pembulatan
tarif mendahului persentase target kenaikan tarif, dan sekali lagi masyarakat
yang menanggung keadaan ini.
Di Sektor
Pangan, kenaikan harga-harga sembako relativ di picu oleh naiknya ongkos
transportasi distribusi komoditas pangan/kilogram dari berbagai daerah, asumsi
ini lebih rasional dan faktual bila dibandingkan dengan pandangan beberapa
pihak yang menilai kenaikan harga yang melambung tinggi akibat panjangnya
saluran distribusi komoditas dari produsen hingga ke konsumen pengguna sehingga menghasilkan usulan untuk
pemangkasan saluran distribusi yang ada diberbagai daerah untuk menjamin harga
dan inflasi tidak melambung tinggi.
Penentu
Kenaikan Harga
Dalam kondisis tertentu semua
harga pada pasar adalah
seragam atau sama setelah diperhitungkan penambahan biaya
untuk kegunaan tempat, waktu dan bentuk. Pada realitasnya harga tidak selalu
seragam pada setiap pasar, sehinggga mereka
menyatakan perbedaan harga antar
pasar sebanding dengan biaya
pemindahan produk antar
pasar. Dengan demikian
apabila biaya pemindahan antar pasar
relatif tetap, perbandingan harga antar pasar
relatif tetap juga atau terjadi keterkaitan harga antar pasar. Kohls (2000).
Kenaikan harga-harga
secara umum (Inflasi) saat ini diigerakkan dari sisi penawaran (supply) atau
kenaikan harga akibat kenaikan biaya (Cost
Push Inflation). Secara deskriptif dapat dijelaskan bahwa ketika
harga-harga secara umum meningkat akibat desakan biaya produksi ataupun
distribusi maka akan mempengaruhi permintaan efektif (effective demand) yang cenderung menurun dengan asumsi pendapatan
tetap (constant). Adalah sangat
menarik anggapan bahwa kenaikan harga BBM tampaknya tak akan berpengaruh besar
terhadap kenaikan harga pangan di Indonesia. Faktanya spekulasi sektor pangan
pasca kenaikan BBM memberi dampak buruk terhadap penentuan kenaikan harga pangan
di pasar.
Ekspektasi
Masyarakat
Permintaan baru
mempunyai arti bila didukung oleh “daya beli” permintaan barang. Kenaikan harga
BBM telah mengakibatkan biaya hidup meningkat, ditengah pendapatan yang relativ
tetap. Keadaan demikian tentunya tidak hanya berdampak pada masyarakat pengguna
barang dan jasa namun juga turut dirasakan oleh pedagang dan produsen akibat
permintaan aggregate yang menurun. Skema kebijakan pemerintah untuk mengurangi
dampak kenaikan BBM untuk masyarakat miskin dalam bentuk BLSM Rp.150.000/bln plus
kenaikan kuota Raskin selama 4 bulan secara rasional dan kuantitatif tidaklah
berbanding linear dengan gejolak yang ditimbulkan dari kenaikan BBM, dilain
sisi banyak diantara mayarakat yang pantas menerima kompensasi namun tidak
terdaftar sebagai penerima.
Profil Penulis
Wardihan Sabar